K.H. Moh. Sholeh Tsani dan Jaringan Ulama Pesantren

Avatar

Agil Muhammad

KH. Moh. Sholeh Tsani dan Jaringan Ulama Pesantren

Qomaruddin.com – Tahun 2021 termasuk tahun yang istimewa, karena pada tahun ini diadakan Haul K.H. Moh. Sholeh Tsani (Mbah Sholeh) sebanyak dua kali. Dalam rangka menyambut cara haul ini pula, saya ‘dipaksa’ kawan-kawan grup admin sosmed Qomaruddin untuk menulis sebuah artikel dengan ancaman akan ‘di-kick’ jika tidak membuat tulisan. Akhirnya ‘kemalasan’ menulis saya mulai mendapat peringatan dan ancaman nyata.

Sebagaimana penjelasan Gus Baha’ pada acara Haul K.H. Ali Maksum di Krapyak, ketika berbicara dalam acara haul ulama’, kita sebaiknya mengkaji keilmuan ulama dengan membaca karya atau napak tilas sejarah pemikiran (intellectual history) ulama yang sedang diperingati haulnya.

Sejarah mencatat bahwa perjalanan intelektual Mbah Sholeh dimulai dari ayahnya sendiri yaitu K.H. Abu Ishaq Madyani di Rengel Tuban. Selanjutnya pada usia belasan tahun, Mbah Sholeh di-pondok-kan orang tuanya ke Sampurnan yang saat itu diasuh oleh K.H. Muhammad Basyir, menantu K.H. Sholeh Awwal. Setelah di Sampurnan, Mbah Sholeh melanjutkan nyantri pada K.H. Muqoddas Sembilangan.

Kemudian, Mbah Sholeh melanjutkan pendidikannya di Pesantren Kedungmeduro, Sidoarjo, yang diasuh oleh K.H. Mas Nidlomuddin dan ulama lain ikut mengajar di pesantren tersebut adalah Syekh Amari al-Hadhrami.

Di Pesantren Kedungmeduro ini, Mbah Sholeh tersambung dengan mata rantai sanad jaringan keilmuan ulama, tepatnya pada K.H. Nidlomuddin yang merupakan santri dari Syekh Salim bin Samir al-Hadhrami pengarang kitab Safinah al-Naja yang banyak dikaji di pesantren.

Kualitas kitab Safinah al-Naja sangat diakui ulama dengan bukti banyaknya kitab syarah atas kitab tersebut. Di antara kitab syarah yang akrab di telinga kita adalah kitab Kasyifah al-Saja karya Syekh Nawawi al-Bantani dan kitab Nail al-Raja karya Sayyid Ahmad bin Umar al-Syatiri. Nah, ketika nyantri di pesantren ini, Mbah Sholeh menjalin persahabatan dengan ulama kharismatik Syaikhana Kholil al-Bangkalani yang menunjukkan terjadinya jaringan ulama Nusantara.

Kerakraban Mbah Sholeh dengan Syaikhana Kholil dapat dimaklumi karena terdapat catatan bahwa Syaikhana Kholil pertama kali nyantri di Pesantren Sampurnan dibawah asuhan K.H. Sholeh Awwal. Secara kronologis Syaikhana Kholil, yang lahir pada tahun 1819 M, nyantri pada K.H. Sholeh Awwal yang wafat pada tahun 1838 M. Jadi pada saat nyantri di Sampurnan, Syaikhana Kholil masih usia belasan tahun.

Nah, akhirnya kita dapat memaklumi keakraban Mbah Sholeh dengan Syaikhana Kholil bukan hanya atas dasar teman seperguruan, tetapi juga bahwa Syaikhana Kholil merupakan santri dari kakek Mbah Sholeh. Kedekatan antara Syaikhana Kholil dengan Sampurnan juga bisa dilihat pada sanad Dzikir Saman yang dikisahkan berasal dari beliau.

Alasan Syaikhana Kholil memilih nyantri di Sampurnan pada K.H. Sholeh Awwal bisa dipastikan bahwa kealiman K.H. Sholeh Awwal diakui pada masa tersebut. Kealiman K.H. Sholeh Awwal juga bisa dibuktikan bahwa ketika wafat pada saat melaksanakan haji kedua, K.H. Sholeh Awwal dimakamkan di pemakaman Ma’la, yang merupakan makam khusus ulama yang diakui kapasitas keilmuannya di kancah internasional.

Setelah dari Pesantren Kedungmeduro, Mbah Sholeh langsung didapuk oleh mertuanya, K.H. Mustofa untuk mengasuh Pesantren Sampurnan. Merasa belum mumpuni untuk mengasuh pesantren, Mbah Sholeh melanjutkan nyantri pada K.H. Ismail Pamekasan.

Nah, ini yang unik. Setelah mondok lama di beberapa pesantren, ketika ditunjuk untuk mengasuh Pesantren Sampurnan, Mbah Sholeh memutuskan untuk menimba ilmu lagi pada K.H. Ismail Pamekasan hingga meninggalkan istri dan pesantrennya.

Pada posisi seperti ini, seorang ulama seperti Mbah Sholeh bisa dipastikan mencari suatu ilmu yang penting di Pamekasan yang menurutnya sangat menunjang dalam proses kepengasuhan beliau. Kemungkinan yang dicari Mbah Sholeh ketika mondok di Pamekasan ini adalah terkait dengan pematangan ilmu spiritualnya.

Tidak hanya di Nusantara, Mbah Sholeh juga melanjutkan rihlah ilmiah-nya ke Haramain, yang menjadi pusat keilmuan ulama pada masa itu. Haramain merupakan tempat yang sangat ‘pas’ dan strategis sebagai pusat pencetak intelektual muslim. Daya tarik dan kesakralan Ka’bah dan makam Nabi Muhammad, serta adanya kewajiban melaksanakan ibadah haji menjadikan Haramain banyak dikunjungi oleh umat muslim dari berbagai penjuru dunia.

Para penuntut ilmu di Haramain cukup menetap di tempat ini, dan mereka tinggal menunggu kehadiran ulama dari berbagai negara seperti Mesir, Persia, Syiria, Yaman, Maghrib, India, dan lain-lain, untuk menyerap keilmuan dari para alim ulama tersebut. Ulama India sebagai sumber banyak tariqah, dan ulama Mesir dengan tradisi sanad hadis semuanya berjalan menuju tanah suci tersebut, yang mengakibatkan adanya sinergi yang kuat antara syariat dan tasawuf pada masa itu, dan mulai mengurangi ketegangan antara sufi dan muhaddis pada era sebelumnya.

Antusias santri Nusantara untuk menuntut ilmu di Haramain bermula pada abad ke-18, karena pada masa sebelumnya pemerintah kolonial sangat membatasi keberangkatan haji. Ibadah haji pada masa pembatasan ini cenderung ekslusif dan hanya bisa dilaksanakan oleh keluarga sultan dan bangsawan, termasuk di antara orang-orang beruntung ini adalah Syekh Abd Al-Shamad al-Palimbani, Syekh Arsyad al-Banjari, dan Syekh Nafis al-Banjari.

Ketika Belanda mulai membuat membolehkan ibadah haji, pada tahun 1825, dengan biaya yang sangat mahal, serta akibat terbukanya Terusan Suez pada tahun 1869, peningkatan jamaah haji dan pelajar Nusantara ke Haramain, yang dikenal dengan sebutan Ashab al-Jawiyyin, semakin meningkat pesat. Santri Nusantara yang belajar di Haramain mendapatkan sanad keilmuan dari Syekh Ibrahim al-Kurani dan Syekh Ahmad al-Qusyasyi yang menjadi inti jaringan ulama pada abad ke-17. Dua ulama ini merupakan guru langsung dari ulama Nusantara pada era sebelumnya, seperti Syekh Abdurrauf al-Sinkili dan Syekh Yusuf al-Maqassari.

Dalam catatan yang baru beberapa tahun ini ditemukan di ndalem pondok Qomaruddin, ditemukan tulisan yang menerangkan bahwa Mbah Sholeh merupakan santri dari Sayyid Abu Bakar Syatha, muallif kitab I‘anah al-Talibin, hasyiyah atas kitab Fath al-Mu‘in karya Syekh Zainuddin al-Malibari. Sayyid Abu Bakar Syatha merupakan guru utama yang mewariskan sanad kitab hadis pada Syekh Mahfud al-Tarmasi. Meski karyanya yang paling masyhur di kalangan pesantren adalah kitab I‘anah al-Talibin dalam bidang fiqh, Sayyid Abu Bakar Syatha juga dikenal dalam bidang hadis. Syekh Yasin al-Fadani yang dikenal sebagai musnid al-dunya, mendapatkan sanad hadis dari Syekh Baqir al-Jogjawi yang mendapatkannya dari Syekh Mahfud al-Tarmasi, dari Sayyid Abu Bakar Syatha.

Transmisi sanad hadis di kalangan ulama menempati posisi yang sangat penting dalam tradisi ulama. Hal ini bisa dibuktikan bahwa meskipun Syekh Nawawi al-Bantani merupakan ulama ensiklopedis yang mengarang banyak karya yang sangat sering dikaji para santri pesantren, tetapi reputasi Syekh Mahfud al-Tarmasi, seorang muhaddis, dipandang lebih besar karena konsentrasi pada bidang hadis yang terbatas pada santri pilihan saja, serta spesialisasi Syekh Mahfud al-Tarmasi dalam bidang hadis ini jarang dikuasai oleh para pakar pada masanya.

Mungkin atas dasar inilah yang menyebabkan Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asy’ari menjadi rujukan ulama pesantren pada abad ke-20. K.H. Hasyim Asy’ari yang dikenal sebagai ulama yang mempunyai spesialiasi di bidang hadis, -hingga gurunya, Syaikhana Kholil ikut berguru padanya- mendapatkan sanad kitab hadis dari Syekh Mahfud al-Tarmasi.

Melihat kapasitas Sayyid Abu Bakar Syatha yang dikenal ahli dalam bidang hadis dan fiqh, nampaknya Mbah Sholeh cenderung memfokuskan spesialisasinya dalam bidang fiqh, dengan adanya bukti bahwa Pesantren Sampurnan dikenal pada masa itu sebagai pesantren yang bercorak fiqh, meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa Mbah Sholeh juga ahli dalam bidang hadis.

Ada keahlian lain yang dimiliki oleh Mbah Sholeh, yaitu dalam bidang ilmu arudl yang nampak pada dua karyanya yang berjudul Qashidah fi al-Shaum dan Qashidah li al-Shibyan yang ditulis dalam bentuk nadham-an agar mudah dihafalkan. Sudah masyhur diketahui bahwa tradisi santri adalah menghafal, termasuk juga menghafalkan kitab, yang masih bisa kita temukan di beberapa pesantren salaf seperti Pesantren Al-Anwar Sarang, Pesantren Amtsilati Jepara, dll. Nah, salah satu strategi ulama untuk memudahkan santri menghafal materi pesantren adalah dengan me-nadham-kannya, karena menghafal kitab cenderung lebih sulit. Dan, tradisi menghafal seperti ini tidak ditemui -atau bahkan tidak disukai- di kalangan Islam modernis, yang membedakannya dengan tradisi Islam tradisional.

Perjalanan intelektual dan jaringan keilmuan Mbah Sholeh dikisahkan mampu menjadikan Pesantren Sampurnan sebagai salah satu tujuan belajar para santri pada era santri kelana. Di antara santri-santri Mbah Sholeh adalah K.H. Faqih Maskumambang -Wakil Rais Akbar NU- dan K.H. Ma’shum Ali -pengarang kitab shorof al-Amtsilah al-Tasrifiyyah sekaligus menantu K.H. Hasyim Asy’ari-, sementara  K.H. Adlan Ali -adik K.H. Ma’shum Ali- diriwayatkan pernah khatam ngaji kitab Fath al-Wahhab -karya Syaikh al-Islam Zakariya al-Anshari- pada K.H. Ya’qub Sampurnan. Selain itu, cucu dari Sayyid Umar Syatha, -saudara dari Sayyid Abu Bakar Syatha- yaitu Sayyid Hamzah Syatha sering mengunjungi K.H. Ismail Sampurnan, bahkan ada amben di rumah kakeh buyut saya, H. Amin, sebagai tempat peristirahatan khusus Sayyid Hamzah Syatha, saking seringnya beliau berkunjung ke Sampurnan.

Melihat posisi Pesantren Sampurnan pada masa itu sebagai tujuan pengembaraan ilmu para santri dan termasuk di antara pesantren tua yang bisa bertahan hingga saat ini -selama dua abad lebih-, semoga Pesantren Qomaruddin bisa kembali menjadi pesantren pencetak ulama yang tidak ‘hanya’ untuk sekedar ngalap barokah pada sesepuh pesantren terdahulu.

Ada saran agar Pesantren Qomaruddin mulai membuka sistem perguruan tinggi Ma’had Aly yang telah mendapat pengesahan dari pemerintah. Sebagaimana upaya Pesantren Tebuireng yang membuka Ma’had Aly dengan takhassus (program studi) Hadis wa ‘Ulumuhu untuk nguri-nguri spesialisasi K.H. Hasyim Asy’ari dalam bidang hadis. Mungkin Pesantren Qomaruddin bisa membuka takhassus Fiqh wa Ushuluhu yang sesuai dengan corak Pesantren Sampurnan sebelumnya.

Mungkin sekian, tulisan yang bisa saya sumbangkan, dari alumni Pesantren Qomaruddin yang sering dimarahi Pak Isa, karena sering keluar malam menginap di kelas MA Assa’adah sambil ngajak kawan sekamar An-Nawawi. Jika terdapat kesalahan data, tidak usah sungkan-sungkan untuk memberi koreksi langsung ke penulis. Terima kasih.

Artikel Terkait

2 thoughts on “K.H. Moh. Sholeh Tsani dan Jaringan Ulama Pesantren”

  1. Masyaallah. banyak pengetahun yang saya dapat dan mudah mudahan kita semua dapat mengambil hikmah dan suri tauladan dari beliau. Al Fatihah….

    Reply
  2. Pingback: Tibyān al-Asrār: Tafsir atau Serat? - Qomaruddin.com

Leave a Comment