Qomaruddin.com – Akhirnya, libur sekolah telah tiba, udah mulai selow untuk lanjut seri ushul fiqh berikutnya. Enam seri tulisan ringan ushul fiqh sebelumnya telah diterbitkan di website tsaqafah.id. Setelah itu, ada permintaan dari konco ngopi Media Qomaruddin untuk me-repost seri ini ke website Qomaruddin.com, yang nantinya sekalian untuk dilanjutkan sampai khatam. Alasannya, supaya isi website ngga cuma konten berita aja, biar ada konten artikel keislaman dengan bahasa tetap ringan.
Enam seri tulisan sebelumnya sudah membahas konsep-konsep penting dalam ushul fiqh, tentang definisi ushul fiqh, kedudukan ushul fiqh dengan cabang ilmu fiqh lain, pembagian hukum, serta bentuk-bentuk dalil, baik yang muttafaq alaih maupun yang mukhtalaf fih.
Topik kali ini kita akan membahas lebih spesifik tentang mantuq dan mafhum, yang keduanya masuk dalam diskursus dalil muttafaq alaih yang pertama, yakni al-Quran. Meski berada dalam ranah kajian al-Quran, sebenarnya dua konsep ini juga bisa diterapkan pada semua jenis dalil, baik yang muttafaq alaih maupun mukhtalaf fih. Selain itu, pembahasan ini juga sering berkaitan dengan cabang ilmu lain, seperti ilmu bahasa dan ilmu mantiq.
Nggak lama-lama, yuk langsung kita bahas!
Mantuq
Sederhananya, mantuq adalah makna yang ditunjukkan secara tersurat atau eksplisit dari teks atau lafaz. Secara istilah, mantuq adalah makna yang ditunjukkan oleh lafaz di tempat pengucapannya (mahall al-nutq), baik berfaidah hukum maupun bukan. Di sini, mantuq juga terbagi menjadi empat macam, yakni nash, dhahir, mujmal, dan ta’wil.
Nash adalah ketika makna dari lafaz sudah pasti dan tidak memungkinkan mengarah ke makna lain. Contoh ayat:
فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلٰثَةِ اَيَّامٍ فِى الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ اِذَا رَجَعْتُمْ
“Akan tetapi, jika tidak mendapatkannya, dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam (masa) haji dan tujuh (hari) setelah kamu kembali.”
Dari sini, secara mantuq (ekspilisit) ayat ini menjelaskan kewajiban puasa ‘tiga hari’ dalam masa haji dan ‘tujuh hari’ ketika sudah pulang jika tidak mendapatkan kurban sebagai dam haji. Lafaz ‘tiga hari’ dan ‘tujuh hari’ dalam ayat tersebut tidak bisa dimaknai selain sebagaimana bunyinya.
Dhahir adalah ketika makna suatu lafaz diarahkan pada makna yang lebih kuat (unggul), dan memungkinkan adanya makna lain yang dinilai lebih lemah. Contoh ayat:
وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ ۚ
“…dan jangan kamu dekati mereka (untuk melakukan hubungan intim) hingga mereka bersuci.”
Ayat tersebut menjelaskan larangan bagi suami untuk berhubungan dengan istrinya setelah suci dari haid hingga ia bersuci terlebih dahulu. Lafaz ‘bersuci’ dipahami sebagai bersuci dari hadas besar berupa ‘mandi’ yang memiliki makna lebih kuat. Sebenarnya, bisa saja dimaknai sebagai ‘berwudlu’, tetapi makna ini dianggap lebih lemah.
Karena lafaz ‘bersuci’ diarahkan pada makna yang lebih kuat, meskipun masih memiliki kemungkinan makna lain yang lebih lemah, maka penggunaan makna ‘mandi’ termasuk dalam kategori mantuq dhahir.
Mujmal adalah makna suatu lafaz yang mengandung beberapa makna seimbang tanpa ada yang lebih unggul. Lafaz yang mujmal inilah salah satu penyebab perbedaan antara ulama dalam merumuskan hasil ijtihadnya. Contoh ayat:
وَالْمُطَلَّقٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ ثَلٰثَةَ قُرُوْۤءٍۗ
“Para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali qurū’ (suci atau haid).”
Ayat ini menjelaskan bahwa perempuan yang telah dicerai suaminya wajib menahan diri (iddah dan ihdad) selama tiga ‘quru’. Lafaz ‘quru’ memiliki dua makna yang seimbang, yaitu bermakna ‘masa suci’ dan ‘masa haid’. Ketika lafaz tersebut dipahami dengan salah satu dari dua makna itu, maka ia termasuk dalam kategori mantuq yang mujmal.
Ta’wil merupakan kondisi ketika lafaz diarahkan pada makna yang secara bahasa lebih lemah karena ada pertimbangan yang lain. Contoh ayat:
وَهُوَ مَعَكُمْ اَيْنَ مَا كُنْتُمْۗ
“Dia (Allah) bersamamu di mana saja kamu berada.”
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah senantiasa bersama kita di mana pun kita berada. Ini adalah contoh makna yang tidak diarahkan pada hukum fiqh, berbeda dengan tiga ayat sebelumnya.
Lafaz ‘Dia bersamamu’ tidak dipahami secara harfiah sebagai ‘Dzat Allah bersama manusia’, karena hal itu mustahil. Maka ia diarahkan pada makna seperti ‘Ilmu Allah bersamamu’, ‘Kuasa-Nya menyertaimu’, atau ‘Penjagaan-Nya melindungimu’.
Sebenarnya, masih ada beberapa tipologi lain dalam pembahasan mantuq, seperti dalalah muthabaqah, tadlammun, dan iltizam, serta dalalah iqtidha’ dan isyarah. Namun, agar pembahasannya tetap ringan, nanti saja kita lanjutkan di seri berikutnya., oke.
Mafhum
Lebih mudahnya, mafhum adalah pemaknaan atas suatu lafaz secara tersirat atau implisit. Jadi, makna yang dipahami tidak hanya berasal dari teks yang tertulis, tetapi juga dari hal-hal yang tidak disebutkan secara eksplisit.
Mafhum terbagi menjadi dua: mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah. Perbedaan utama keduanya terletak pada ‘status hukum’-nya. Ketika status hukum dari mafhum sama dengan yang tersurat dalam lafaz, itu disebut mafhum muwafaqah. Sebaliknya, jika status hukumnya berbeda, maka disebut mafhum mukhalafah. Lebih lanjut, mafhum muwafaqah terbagi lagi menjadi dua: fahwa al-khithab dan lahn al-khithab. Setiap jenis mafhum ini akan dijelaskan dengan contohnya.
Fahwa al-khitab adalah mafhum muwafaqah yang maknanya lebih besar atau lebih parah daripada teks yang disebutkan, namun status hukumnya tetap sama. Contoh ayat:
فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا
“… sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya,”
Secara mantuq, ayat ini melarang membentak orangtua. Lewat fahwa al-khithab, kita bisa memahami larangan memukul orangtua, karena lebih menyakitkan. Larangan ini tetap tergolong mafhum muwafaqah karena status hukumnya sama, yaitu sama-sama larangan.
Contoh lain, ketika ada tulisan “Dilarang membuang sampah di dalam kelas”, maka fahwa al-khithab-nyaadalah “Buang air besar di kelas juga dilarang”, karena lebih parah dari sekadar membuang sampah.
Lahn al-khithab adalah mafhum muwafaqah ketika makna yang dipahami setara dengan lafaz teksnya. Contoh ayat:
اِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ اَمْوَالَ الْيَتٰمٰى ظُلْمًا
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim…”
Makna mantuq dari ayat ini adalah larangan ‘memakan’ harta anak yatim. Adapun lahn al-khithab-nya adalah larangan ‘membakar’ harta mereka. Keduanya dinilai setara karena sama-sama merusak.
Dalam keseharian, contoh lahn al-khithab bisa ditemukan saat membaca tulisan di masjid yang berbunyi, “Dilarang mencuri sandal milik masjid.” Maka, lahn al-khithab-nya adalah “Dilarang juga membuang sandal milik masjid”, karena sama-sama merugikan.
Mafhum Mukhalafah adalah pemahaman tersirat dari lafaz dengan status hukum yang berbeda. Contoh ayat:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا
“Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu membawa berita penting, maka telitilah kebenarannya.”
Secara mantuq, ayat ini mewajibkan kita meneliti berita dari orang fasik. Melalui mafhum mukhalafah, bisa dipahami bahwa tidak wajib meneliti berita dari orang yang adil.
Contoh lain: tulisan “Yang tidak berkepentingan dilarang masuk” menyiratkan bahwa ‘yang berkepentingan diperbolehkan masuk’. Status hukumnya berbeda dari yang tertulis.
Sebagai kesimpulan, untuk mempermudah perbedaan antara mantuq, mafhum muwafaqah (fahwa al-khithab dan lahn al-khithab), dan mafhum mukhalafah, mari kita coba mreteli satu ayat yang telah kita bahas sebelumnya, yakni ayat:
فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا
“… sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya,”
Secara mantuq, ayat tersebut menjelaskan ‘larangan membentak kedua orangtua’. Melalui fahwa al-khithab, bisa dimaknai sebagai ‘larangan memukul kedua orangtua’. Menggunakan lahn al-khithab, ayat ini bisa dipahami sebagai ‘larangan menjelekkan kedua orangtua’. Kemudian, ayat ini bisa diarahkan pada makna ‘wajib berkata baik pada kedua orangtua’ melalui mafhum mukhalafah.
Gampang, kan? Sebenarnya kita sering menggunakan konsep mantuq, mafhum muwafaqah, dan mafhum mukhalafah dalam kehidupan sehari-hari, meski sering nggak kita sadari. Padahal, pembahasan ini sangat krusial dalam memahami ushul fiqh, terutama dalam memahami al-Quran dan hadis Nabi.
Sekian, seri Ushul Fiqh kali ini. Insyaallah seri ini akan berlanjut terus. Nantikan saja update-nya di komunitas Whatsapp Media Informasi Qomaruddin, oke?