Sejarah Pondok Pesantren Qomaruddin

Qomaruddin.com – Sejarah Pondok Pesantren Qomaruddin – Pondok Pesantren Qomaruddin Sampurnan Bungah didirikan oleh Kiai Qomaruddin. Bagaimana dan mengapa K. Qomaruddin mendirikan Pondok Pesantren di Sampurnan Bungah?. Pada awalnya beliau mendirikan pesantren di Desa Kanugrahan (dekat Pringgoboyo), Kecamatan Meduran, Kabupaten Lamongan. Pesantren yang didirikan itu diberi nama Pesantren Kanugrahan. Tahun berdirinya pesantren itu ditandai dengan candra sengkala “Rupo Sariro Wernaning Jilma” (1681 S/1753 M). Dalam waktu singkat, Pesantren Kanugrahan sudah dikenal di daerah sekitarnya. Jumlah santrinya mencapai sekitar 300 orang (jumlah yang sangat besar ukuran waktu itu).

Beberapa tahun kemudian, Kiai Qomaruddin ingin pergi ke Gresik. Tujuannya ialah untuk menemui santrinya (Tirtorejo, keturunan Kanjeng Sunan Giri) yang kala itu telah menduduki jabatan sebagai tumenggung di Gresik.

Dalam perjalanannya menuju Gresik, tempat pertama yang disinggahi adalah Desa Morobakung, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik. Di desa ini beliau mendirikan rumah dan surau untuk tempat mengajarkan ilmu agama. Tidak diketahui dengan pasti, berapa tahun Kiai Qomaruddin bermukim di Desa Morobakung itu. Hanya diceritakan bahwa ada 3 keluarganya yang meninggal dunia dan dimakamkan di desa itu. Di antaranya adalah ibu mertua, putrinya (yang dikenal dengan sebutan Mbok Dawud), dan cucu putri menantunya. Makam itu terletak berderet, sehingga sampai sekarang dikenal oleh masyarakat dengan sebutan makam jejer telu (makam yang berjajar tiga).

Di samping itu, oleh masyarakat setempat nama desa Morobakung diduga berasal dari kata moro dan bakung. Moro artinya datang, sedangkan bakung adalah singkatan dari kata embah kakung yang maksudnya seorang sesepuh laki-laki. Embah kakung yang dimaksud tidak lain ialah Kiai Qomaruddin. Jadi kedatangan Kiai Qomaruddin ke desa tersebut diterima sebagai datangnya seorang sesepuh (moro-ne embah-kakung) yang sangat diharapkan dan dicintai oleh masyarakat. Sebutan itu terabadikan menjadi nama sebuah desa hingga sekarang.

Tak lama kemudian Kiai Qomaruddin meninggalkan Desa Morobakung. Beliau pindah menyeberang Bengawan Solo ke arah utara yaitu tepatnya di Desa Wantilan, tak jauh dari Desa Morobakung. Kepergiannya ini semata-mata ingin mencari lokasi yang dianggap sebagai tempat yang cocok untuk mendirikan sebuah pesantren seperti yang diharapkannya.

Ada lima kriteria yang diidealkan oleh Kiai Qomaruddin untuk lokasi pesantren, yaitu; (1) dekat dengan pemerintahan (untuk memudahkan hubungan dengan pusat kekuasaan), (2) dekat dengan jalan raya (untuk memudahkan transportasi), (3) dekat dengan pasar (untuk memenuhi kebutuhan pokok), (4) dekat dengan hutan (untuk memudahkan mencari kayu bakar dan kebutuhan pokok lainnya), dan (5) air yang mencukupi kebutuhan keluarga dan santri.

Pertimbangan “material” tersebut kemudian dipadu dengan hasil istikharah[1]. Hasilnya menunjukkan bahwa beliau harus mengembara lagi untuk yang kesekian kalinya dalam rangka menentukan tempat pondok pesantren yang tepat. Sampailah Kiai Qomaruddin di suatu tempat yang terletak antara Masjid Kiai Gede Bungah dengan Kantor Distrik Kecamatan Bungah. Rupanya, di tempat itu Kiai Qomaruddin mendapatkan firasat yang baik sesuai dengan cita-citanya. Akhirnya di tempat itu pulalah beliau mendirikan pondok pesantren, tepatnya pada 1775 M/1188 H. Kanjeng Tumenggung Tirtorejo (K. Yudonegoro) memberi nama bagi pesantren yang baru didirikan Kiai Qomaruddin itu dengan nama Pesantren Sampurnan. Mbah K.H. Zubair Abdul Karim (sesepuh Pondok Pesantren Sampurnan) menyebutkan bahwa pemberian nama ini merupakan isyarat dan harapan agar Kiai Qomaruddin dan anak cucunya tetap menetap di Sampurnan, sebab dukuh Sampurnan merupakan tempat yang baik, utamanya bagi berdiri dan berkembangnya sebuah pondok pesantren. Mbah Zubair menambahkan bahwa kata Sampurnan merupakan akronim (kependekan) dari kata sampurno temenan (benar-benar tampat yang sempurna).

Pada tahun 60-an atas inisiatif Kiai Hamim Shalih (putra Kiai Sholih Musthofa), pesantren ini diberi nama Darul Fiqih. Menurutnya, nama ini cocok untuk digunakan karena beberapa pertimbangan, antara lain; (1) kitab yang banyak menjadi rujukan pengajaran, terutama sejak kepemimpinan Kiai Moh. Sholih Tsani adalah kitab-kitab fiqih, (2) harapan agar pesantren ini dapat mencetak kader-kader ahli fiqih yang dapat menerapkan dan mengembangkan ilmunya di masyarakat (3), pesantren ini menjadi rujukan penetapan hukum bagi masyarakat sekitarnya. Akan tetapi sejak pertengahan tahun 70-an, pesantren ini diubah namanya menjadi Pondok Pesantren Qomaruddin. Nama itu dinisbatkan kepada pendirinya, yaitu Kiai Qomaruddin sekaligus dalam rangka tabarruk (mengharapkan limpahan kebaikan) kepada pendirinya. Sampai sekarang nama Pondok Pesantren Qomaruddin inilah yang secara resmi atau secara formal administratif dipergunakan, baik untuk keperluan internal (ke dalam) maupun eksternal (ke luar). Di katakan secara resmi atau secara formal administratif, karena sejak 1972, telah dibadan hukumkan secara resmi dalam bentuk yayasan, dengan nama “Yayasan Pondok Pesantren Qomaruddin”.

[1] Ketika mukim di wantilan, Kiai Qomaruddin melakukan istikharah dan mendapatkan jawaban melalui mimpi bertemu dengan beberapa ekor buaya dan terjadi dialog antara keduanya bahwa para buaya itu merasa terganggu jika Kiai Qomaruddin mendirikan pesantren di Desa Wantilan. Maka sejak itu Kiai Qomaruddin yang masih keturunan Joko Tingkir itu berjanji bahwa ia dan anak cucunya tidak akan saling mengganggu di mana saja berada.