Qomaruddin.com – Setelah membahas muqaddimah dan sekelumit cerita di edisi perdana, mari kita lanjut ke inti pembahasannya. Mulai dari bait pertama hingga bait ketiga Qaṣīdah Burdah al-Būṣīrī. Check this out!
أَمِنْ تَذَكُّرِ جِيْرَانٍ بِذِيْ سَلَمِ # مَزَجْتَ دَمْعًا جَرَى مِنْ مُقْلَةٍ بِدَمِ
Apakah karena teringat tetangga di Żī Salam, Engkau mencampurkan air mata yang mengalir dari kelopak mata dengan darah.
A Min Tażakkuri Jīrānin adalah nama lain dari Qasidah Burdah. Hal ini mengacu pada kebiasaan penamaan terhadap suatu syair pujian atau selawat Nabi Muhammad. Seperti penamaan pada pujian Ilāhī Lastu dan selawat Yā Badratim. Berbeda halnya dengan penamaan selawat Ṭibb al-Qulūb, yang masyhur dibaca masyarakat saat pandemi ini. Nama itu bukan merupakan redaksi pertama dari selawat, tapi khasiat selawat ini.
Ṣāḥib al-Qaṣīdah, yakni Imam al-Busiri, mengawali syairnya dengan pertanyaan kepada seseorang. Menariknya, pertanyaan ini ditujukan pada dirinya sendiri. Jadi al-Busiri saat itu sedang bicara dan bertanya pada dirinya sendiri terkait keadaan yang menimpanya. Unik ya.
Dia bertanya tentang ingatan pada seorang tetangga di Ẓī Salam, yang menyebabkannya meneteskan air mata yang bercampur dengan darah, saking sendunya. Ẓī Salam yang dimaksudkan di sini adalah nama sebuah desa yang terletak di antara Makkah dan Madinah.
Tetangga macam apa ini? Al-Busiri menggunakan redaksi ‘tetangga’ dalam syairnya. Kata ‘tetangga’ bisa diartikan dengan dua pengertian. Pertama, makna ḥaqīqī yang berarti orang yang rumahnya berdekatan atau bersebelahan dengan rumah kita. Kedua, yakni makna majāzī, yakni personifikasi kekasih. ‘Kekasih’, kata yang cukup sering digunakan kawan kita pecinta puisi senja, dan ‘tetangga’ memiliki kemiripan arti dalam hal kedekatan. ‘Tetangga’ dekat di fisik, ‘kekasih’ dekat di hati. Karena teringat tetangga pada umumnya tidak sampai menjadikan seseorang menangis, pastinya ini bukanlah ‘tetangga’ yang biasa.
Orang yang dimaksud dalam syair ini pasti sedang menangis sejadi-jadinya. Menangis karena mengingat seseorang yang spesial di masa lalu. Mengingat masa lalu itu manusiawi. Sebab orang yang tidak punya kerinduan itu tidak normal. Dan orang yang tidak punya kesan, bukanlah orang yang baik.
أَمْ هَبَّتِ الرِّيْحُ مِنْ تِلْقَاءِ كَاظِمَةٍ # وَ أَوْمَضَ الْبَرْقُ فِيْ الظَّلْمَاءِ مِنْ إِضَمِ
Ataukah sebab hembusan angin dari arah Kāẓimah, atau sambaran kilat dalam kegelapan dari lembah Iḍam.
Ingatan pada kekasih tidak hanya ketika melihat si Doi, tetapi bisa juga ketika melihat sesuatu yang mengingatkan padanya. Hal ini bisa berupa barang miliknya, rumahnya, bahkan sekedar angin yang berhembus dan sambaran kilat. Bagi orang yang penah jatuh cinta, melihat motor kekasih parkir bersebelahan dengan motor kita saja bisa membuat kita cukup bahagia. Bagi yang belum pernah merasakannya, saya cuma bisa bilang, “kasihan, Lur!”.
Kāẓimah adalah nama lain dari kota Madinah. Madinah dinamakan Kāżimah karena memiliki arti sesuatu yang menahan. Penduduknya diharapkan bisa menahan diri dari amarah dan menjadi penduduk yang ramah. Juga agar berbeda dengan kota Makkah yang merupakan kota metropolitan dengan watak penduduk yang lebih keras.
Penggunaan kata ‘angin’ dan ‘kilat’ menunjukkan bahwa orang tersebut senantiasa merindukan kekasihnya dalam keadaan tenang dan ketakutan. Ini bisa juga bermakna kerinduan pada kekasih saat siang dan malam. Top markotop memang penyair satu ini.
Pemilihan kata al-Rīḥ juga bukan sesuatu yang biasa. Al-Busiri memilih menggunakan kata al-Rīḥ, bukannya al-Riyāḥ. Al-Rīḥ bermakna angin yang menyiksa, sedangkan al-Riyāḥ berarti angin yang menyenangkan. Njenengan yang pernah belajar ‘Ulūm al-Tafsīr pasti memahaminya. Sebagai contoh, penggunaan al-Rīḥ dalam surah al-Żāriyāt (51) ayat 41 bermakna angin azab. Sedangkan al-Riyāḥ dalam surah al-A‘rāf (7) ayat 57 memiliki makna angin kenikmatan.
Kata al-Rīḥ dipilih dalam syair ini karena menggambarkan bahwa kerinduan itu menyakitkan. Rindu ini menyiksa seseorang sangat menginginkan sesuatu tapi belum bisa mendapatkannya. Cinta juga begitu, tidak selamanya menyenangkan. Cinta terkadang juga menyakitkan. Cinta memerlukan pengorbanan. TAPI, seseorang belum bisa dikatakan sebagai pecinta jika dirinya masih merasa berkorban.
فَمَا لِعَيْنَيْكَ إِنْ قُلْتَ اكْفُفَا هَمَتَا # وَمَا لِقَلْبِكَ إِنْ قُلْتَ اسْتَفِقْ يَهِمِ
Maka ada apa dengan kedua matamu, ketika kau bilang tahanlah, malah mengalir deras.
Dan ada apa dengan hatimu, ketika kau bilang tenanglah, malah gelisah.
Kondisi penyair saat ini benar-benar akut. Dia terheran-heran karena tidak bisa mengontrol dirinya. Dia meminta pada matanya agar berhenti menangis, tapi malah semakin menjadi-jadi tangisannya. Dia mencoba menenangkan hatinya, eh malah semakin ambyar.
Padahal mata itu adalah matanya sendiri, dan hati itu adalah hatinya sendiri, tetapi dia tidak bisa mengendalikannya. Ini pasti bukanlah hal biasa. Hal ini mengingatkan kita atas kelemahan manusia yang tidak memiliki kuasa atas dirinya. Kondisi ini mirip dengan salting, yaitu keadaan salah tingkah yang acap kali terjadi pada seseorang pecinta ketika bertemu dengan kekasihnya.
Penyair menggunakan kata ‘mata’ dan ‘hati’ bisa jadi untuk menunjukkan bahwa cinta itu dari mata, turun ke hati. Tips, ketika diri kita atau sesuatu milik kita, seperti rumah atau kamar, ingin disenangi dan dicintai, maka perlu diperbaiki penampilannya. Jangan hanya dibiarkan urakan dan dawul-dawul. Selain itu, kondisi hati seseorang bisa dilihat dari matanya. Ketika seseorang sedang sedih, matanya nampak sayu. Sedangkan saat bahagia, nampak ada kegembiraan di matanya.
Semoga kita dan penyair bisa bertemu dengan ‘tetangga’ yang dirindukan, Wa Allāhu A‘lam.
Tabik,
kereeeeeewn