Tibyān al-Asrār: Tafsir atau Serat?

Muhammad Dluha Luthfillah

Muhammad Dluha Luthfillah

Kitab yang sudah saya sebut di judul ini adalah salah satu karya K.H. Madyani (1294 H/1877 M) yang juga dikenal dengan Kiai Abu Ishaq Rengel, Tuban. Selain beberapa tahun lalu pernah dibedah dan sekarang menjadi bahan ngaji mingguan santri, kitab ini juga telah diteliti oleh salah satu keluarga Ndalem Sampurnan, yaitu Ning Nilna Fadllillah, dalam tesis beliau—dan tulisan ini adalah apresiasi berbentuk respon atas kedua karya tersebut. Sebagaimana akan terlihat nanti, saya mencoba meletakkan karya Mbah Madyani dalam setting yang berbeda—yang saya anggap lebih jujur terhadap sejarah Jawa, dan menawarkan cara baca berbeda yang lebih sesuai dengan setting baru tersebut.


Mbah Madyani bisa disebut sebagai al-rajul bayna Ṣāliḥayn karena beliau adalah menantu Kiai Sholeh Awwal dan ayah dari Kiai Sholeh Tsani, ṣāḥibul-aul yang sering kita sebut sebagai Haul Bungah itu. Peran besar Mbah Sholeh Tsani dalam jaringan intelektual ulama pesantren dan keahlian beliau mengarang kitab (baca juga artikel ini), agaknya merupakan warisan dari sang ayah, Mbah Madyani. Tercatat sejak 2013, keluarga dzurriyyah Mbah Madyani telah berhasil menemukan banyak tinggalan kitab beliau, salah satunya Tibyān al-Asrār.


Berdasarkan keterangan Mbak Na, kitab ini ditulis pada sekitar tahun 1252 H (1835 M?). Versi pdf yang saya miliki tertanggal Mei 2016, yang berarti tiga tahun setelah “ekskavasi” tinggalan-tinggalan kitab Mbah Madyani dimulai. Dalam versi pdf tersebut, ada dua anak judul yang disematkan: fī Qiṣṣat Yūsuf li-Ulī al-Abṣār dan fī Qiṣṣat Yūsuf li-Żawī al-Abṣār. Walaupun berbeda hanya dalam satu kata (Ulī-Żawī) dan kedua diksi tersebut bermakna sama (pemilik), tapi ini sudah cukup untuk menumbuhkan rasa curiga bahwa dalam manuskrip asli, anak judul ini tidak ada. (Dalam gambar di bawah, terlihat bahwa versi manuskrip kitab ini hanya menyebutkan Tibyān al-Asrār tanpa anak judul.)


Dalam keterangan penyunting (muḥaqqiq), manuskrip kitab ini adalah hasil salinan dari adik Mbah Madyani yang bernama Syam‘ūn. Beliau agaknya adalah salah satu sekretaris Mbah Madyani karena juga disebut-sebut sebagai penyalin kitab lain yang cukup tebal Tashīl al-Muḥarrar fī al-Fiqh. Manuskrip salinan Mbah Syam‘ūn ini sebenarnya memiliki makna gandul (dan ini bisa menjadi bahan diskusi sendiri yang panjang), namun sayangnya makna gandul tersebut tidak ikut disunting dan ditampilkan baik dalam versi pdf ataupun cetak dari Tibyān al-Asrār.

Gambar 1. Halaman awal dari Tibyān al-Asrār (sumber: versi pdf Tibyān al-Asrār, cet. 1 [2016])


Selayang Pandang
Mengikuti penjelasan Mbak Na, kitab ini secara sekilas terlihat seperti kitab tafsir, lebih tepatnya tafsir atas Surat Yusuf. Bagi Anda yang kurang familiar dengan surat ini, ia dikenal (karena sebenarnya ia memang mengaku diri) sebagai surat memuat kisah paling indah. Hampir seluruh ayat di surat ini menceritakan kisah Nabi Yusuf secara runtut, sejak kecil hingga menjadi pejabat. Hanya bagian akhir dari surat ini yang lebih berbicara tentang refleksi dan pelajaran hidup.


Kitab Mbah Madyani ini terlihat seperti tafsir karena beliau secara teliti menjelaskan ayat-ayat dari surat ini. Beliau memberikan riwayat dan penjelasan-penjelasan yang membantu pembaca untuk memahami ayat-ayat yang menceritakan kisah Nabi Yusuf. Nah! Dan ini kuncinya: kisah Nabi Yusuf. Yang Mbah Madyani beri penjelasan dan “tafsiri” hanya ayat-ayat yang menceritakan kisah Nabi Yusuf. Ayat-ayat yang di luar cakupan ini, seperti ayat-ayat di akhir surat, tidak mendapat jatah tafsir dari beliau.


Seperti Mbak Na telah jelaskan, penjelasan Mbah Madyani di kitab ini cukup unik karena memiliki nuansa sufistik yang sangat kental. Lebih unik lagi, ketika mencoba menelusuri sumber yang kira-kira dirujuk oleh Mbah Madyani, Mbak Na sudah cukup yakin menyebut kitab Qiṣṣat Yūsuf ‘alayh al-salām sebagai sumber. Namun, ternyata cukup banyak juga Mbak Na temukan “hikayat yang tidak diketahui sumbernya”. Pembaca lalu bisa bertanya, “Loh! Kok mboten wonten sumbere? Mboten bahaya tah?” Namun, hati-hati sampean. Menanyakan hal itu bisa jadi sama dengan mempertanyakan kredibilitas Mbah Madyani. Mosok wani sampean? Gak bahaya tah?


Dalam rangka berhati-hati dan takzim kepada Mbah Madyani, mari kita alihkan saja pertanyaannya kepada Mbak Na. Selain karena masih muda, Mbak Na juga terkenal meneladani sifat Allah ‘afuwwun gafūr, yang dalam kasus Mbak Na bisa diartikan: pemaaf dan tonggoe mbahe Cak Maghfur. Untuk itu, mari kita lihat saja cara Mbak Na menelusuri sumber, yaitu dengan melihat kitab-kitab tafsir dan kitab kisah yang berbahasa Arab. Cara ini tentu valid, mengingat Mbah Madyani yang pernah tinggal selama tiga tahun di Makkah (1251-1254 H/1834-1837 M?). Namun, cara ini bisa jadi tidak mampu secara utuh menjelaskan Tibyān al-Asrār sebagai fenomena keberisalaman ulama Jawa. Lalu? Next.


Tibyān al-Asrār sebagai literatur keislaman (di) Jawa
Saya menawarkan untuk membaca kitab Mbah Madyani dalam dunia Jawa abad ke-19. Abad ini menyaksikan perkembangan pesantren yang cukup pesat. Jika sumber tertulis abad ke-16, salah satunya dari Pelabuhan Jawa Timur (Tuban/Sedayu), menunjukkan adanya usaha untuk menyebarkan paham sufistik tertentu, sumber tertulis abad ke-19 menunjukkan masifnya praktik penggubahan atau penyalinan literatur keislaman. Masivitas ini terjadi tidak hanya di pesantren, namun juga di lingkungan kerajaan. Nah! Salah satu karya yang nge-trend di zaman itu adalah apa yang disebut oleh seorang peneliti Jerusalem, Ronit Ricci, sebagai Ambiya tradition, termasuk di dalamnya adalah Serat Ambiya dan Serat Yusuf.


Dalam bukunya yang terbit bulan Juli lalu, Bu Ronit menjelaskan bahwa Ambiya tradition ini adalah karya-karya yang menyampaikan ajaran Islam dalam balutan kisah para Nabi, Serat Ambiya. Walaupun umumnya berisi kisah banyak Nabi sejak Nabi Adam (pelan-pelan, Pak Sopir!), banyak juga karya-karya yang bisa kita bilang spin-off. Seperti Ada Apa Dengan Cinta (2002) yang memiliki spin-off Milly & Mamet (2018), Serat Ambiya ini juga memiliki, bukan satu, tapi beberapa spin-off, termasuk Patimah Sami (kisah Fatimah putri Kanjeng Nabi), Serat Samud (kisah dialog Kanjeng Nabi dengan seorang Yahudi yang akhirnya masuk Islam), dan Serat Yusuf. Seperti bisa Anda tebak, Serat yang terakhir ini berkisah tentang Nabi Yusuf, mirip seperti tema kitab Mbah Madyani. Yes. You know where I am leading.


Namun, sebelum kembali ke Mbah Madyani, saya ingin menjelaskan satu hal lagi. Ngeh tidak kalau saya dari tadi menyebut Serat (Serat Ambiya, Serat Samud, dan Serat Yusuf)? Kenapa harus Serat? Apa itu Serat? Jujurly, saya tidak tahu pasti. Namun, yang jelas, banyak dari Serat-serat ini yang ditulis dalam bentuk tembang macapat dalam aturan metrikal yang khas dunia per-tembang-an. Mereka tidak sering—untuk tidak mengatakan tidak pernah—mengutip ayat Al-Qur’an. Sumber mereka diduga berbahasa Arab atau Persia. Biasanya, Serat-serat ini ditulis dalam bahasa Jawa kuno yang tidak akrab lagi di telinga kita para pengguna bahasa Jawa abad ke-20 dan ke-21.


Hal penting lain yang disampaikan oleh Bu Ronit adalah salah satu kebiasaan Serat-serat ini untuk menyampaikan kisah dari Jawa dalam latar dan dengan tokoh-tokoh Arab. Itu sebabnya, menurut beliau, banyak poin-poin kemiripan antara kisah para Nabi di Arab sana dan para wali di Jawa sini. Ibu Ronit menyebutnya nabi-wali interface (titik kumpul/persilangan [kisah] nabi-wali). Seringnya, ini terjadi pada kisah-kisah “kecil” dengan tokoh-tokoh “minor”. Interface ini pula yang menurut beliau menjelaskan kenapa ada beberapa episode dalam Serat yang tidak ditemukan sumber Arabnya.


Menariknya, banyak dari Serat-serat ini digubah/disalin pada abad ke-19, pada abad di mana Mbah Madyani hidup! Menariknya lagi, ada satu Serat Ambiya yang ditemukan di Pondok Langitan dan diduga berasal dari abad ke-19—lagi-lagi abad di mana Mbah Madyani hidup! Emang boleh se-kebetulan ini?


Jika kita coba letakkan dalam latar ini, ada beberapa aspek dari Tibyān al-Asrār yang agak terjelaskan dan ada juga sisi-sisi yang terlihat semakin unik. Salah satu aspek yang agak terjelaskan adalah yang Mbak Na sebut sebagai “hikayat yang tidak diketahui sumbernya”. Sisi yang terlihat semakin unik, di sisi lain, adalah pilihan Mbah Madyani untuk menulis dalam bahasa Arab. Termasuk dalam yang terakhir ini adalah pilihan untuk tidak menulis dalam bentuk tembang atau padanannya dalam bahasa Arab, misalnya baḥar (tentang ini, saya ampun dan menyerahkan microphone pada Kak Gus Kirom). Lalu …


Tibyān al-Asrār: Tafsir atau Serat?
Pertanyaan barusan bisa diparafrase menjadi “Cara siapa yang lebih valid? Mbak Na atau saya?” Karena ini bukan kompetisi teman seangkatan, mari kita jawab saja “Tidak ada yang lebih. Dua-duanya valid.” Seperti kata Raditya Dika, ini zaman kolaborasi. Dalam bahasa kampusnya, ini zamannya interdisciplinary. Walaupun istilah yang terakhir adalah bagian dari nama program studi saya, bukan berarti program studi Mbak Na tidak interdisciplinary dan memiliki otoritas yang lebih lemah. Salah satu pilihan istilah lain di luar interdisipliner adalah multi-disipliner, dua istilah yang kalau dibahas akan panjang sepanjang usia Fakultas Kopi. (Teriakkan amin!) Saya lebih suka menggabungkan keduanya. Melihat silsilah atau tafsir dan riwayat itu penting; membacanya dalam lanskap sejarah dunianya (dalam hal ini Jawa) tidak kalah pentingnya.


Fenomena Tibyān al-Asrār ini adalah contoh yang menarik dan penting. Cara yang saya tawarkan untuk membaca Tibyān al-Asrār tadi bisa juga diterapkan untuk membaca ribuan karya ulama pendahulu kita. Saya tidak ingin mengeksklusi karya-karya poro beliau dari konteks kesejarahan yang melingkupi. Apa yang telah dilakukan oleh kesarjanaan kajian keislaman (terutama kesarjanaan tafsir dan hadis) di Indonesia, menurut saya, melompati satu hal. Mereka yang awalnya melayang dan hanya mencari sumber-sumber ke-Arab-an dari tinggalan poro sepah, mengatakan berusaha “membumikan” kajian dengan melihat konteks sosio-historis. Iya sih. Tapi, dalam menyisiri lapisan yang terakhir ini, para sarjana lebih cenderung mengkaji sisi sosial dan agak mengabaikan kekayaan literatur leluhur.


Gagasan menelusuri tradisi tafsir yang beberapa waktu belakangan ini digaungkan oleh kesarjanaan tafsir Indonesia, agaknya menunjukkan gejala yang sama. Gagasan ini berupaya untuk mengidentifikasi apa-apa saja yang coba dimasukkan dalam diskursus tafsir dan apa-apa saja yang berhasil diwariskan sehingga membentuk rantai genealogi. Namun, cara mereka “membumikan” kajian adalah dengan melihat konteks sosio-historis sambil memberi porsi besar kepada bagian sosio-. Ada baiknya, menurut saya, jika literatur tafsir dibaca tidak hanya sebagai literatur keislaman, tapi literatur kebudayaan. Ini karena, sebagaimana Islam, Al-Qur’an juga telah membudaya di tanah kita ini. Apakah dengan ini seseorang bisa mengatakan “Studi tafsir tidak seharusnya dilepaskan dari studi agama dan studi kawasan”? Wallāhu a‘lam.


Yang menjadi concern kita, santri Qomaruddin, adalah bagaimana kita menunjukkan takzim kita kepada poro masyāyikh dengan mengapresiasi karya-karya beliau. Tidak hanya membaca, tapi juga memahami. Tidak hanya memahami, namun juga mengamalkan. Tapi sebelum mengamalkan, sabi lah kita lanjutkan memahami itu dengan mengkritisi, bukan mengkritik! Kenapa? Karena kita tahu sama tahu bahwa mengamalkan itu syulay bukan main. Dalam sebuah obrolan dengan Gus Kirom, muncul pikiran bahwa mengkritisi—atau dalam bahasa Mbak Na “melakukan studi kritis”—pada gilirannya akan bisa berbuah syaraḥ. Bayangkan betapa bahagianya Mbah Madyani kalau anak-cucu beliau bisa men-syaraḥ-i karya beliau.


Namun, dalam adat mufasir, ada sebuah adab yang diajarkan turun-temurun: selama ada yang lebih ahli dan sepuh, maka beliau-beliau itulah yang dipersilakan lebih dulu untuk mengangkat pena. Walaupun agak bertentangan dengan kaidah lā ta’ṡīra fī-l-‘ibādah, tapi saya ndherek adat ini. Saya juga ingin memperluasnya: selain ahli dan sepuh, nasab juga bisa menjadi alasan ta’ṡīr. Pramilo, saya mempersilakan yang lebih ahli dan sepuh untuk lebih dulu mengambil pena dan/atau menekan keyboard. Para dzurriyyah, alam konteks Tibyān al-Asrār ini mungkin Mbak Na, juga saya sumangga’aken. Kalau Mbak Na nggak kerso, ya adiknya yang baru dari tanah suci juga ndak apa-apa: Gus Kautsar al-Ḥājj.

Artikel Terkait

Leave a Comment