Menggagas Paradigma Keilmuan IAI Qomaruddin: Pre-Paradigm (I)

Avatar

Mufid

Menggagas Paradigma Keilmuan IAI Qomaruddin_ Pre-Paradigm (I)

qomaruddin.comMenggagas Paradigma Keilmuan IAI Qomaruddin: Pre-Paradigm (I) Dalam kurun waktu ratusan tahun, ilmu-ilmu  agama (fiqh, kalam, lughah, tasawuf dan seterusnya) di pesantren nusantara (Indonesia) dikaji secara mendalam. Ilmu-ilmu agama tersebut sesungguhnya secara epistemologis dan arkeologi bertumpu pada paradigma bayani dan irfani, dua paradigma yang sejak mula telah diharmonisasikan oleh al-Ghazali[1]. Konflik epistemologis antara ilmu fiqh dan ilmu tasawuf lalu disintesiskan dengan menggunakan metodologi hermeneutik. Model penggabungan tersebut lalu menjadi narasi besar (grand narrative) dan paradigma tunggal yang dominan dalam tradisi pemikiran Islam, akibatnya nyaris tidak ada terobosan baru yang keluar dari mainstream yang dominan tersebut.

Menurut al-Ghazali secara garis besar ilmu pengetahuan dibagi menjadi dua, yakni ilmu-ilmu luar (kerak) dan ilmu-ilmu inti. Ilmu-ilmu kerak “zhahir” diperuntukkan bagi orang awam, sedang ilmu-ilmu inti atau “batin” diperuntukkan khusus bagi khassah al-khassah. Dengan kata lain, al-Ghazali memperuntukkan ilmu bayani bagi masyarakat umum dan ilmu `irfani bagi orang-orang khusus. Meski begitu, ia tidak begitu ketat memisahkan yang “awam” dengan yang “khusus”, yang berarti tidak memisahkan antara ilmu bayani dengan ilmu irfani, karena al-Ghazali menjadikan bayani sebagai jalan menuju irfani[2]. Dari penataan ulang tersebut diatas, yang tidak diambil adalah burhani, khususnya terkait dengan nalar sebab-akibat dalam burhani. Konsekwensinya, ilmu-ilmu rasional baik ilmu-ilmu alam maupun sosial-humaniora tidak mendapat tempat bagi al-Ghazali. Hal ini dikuatkan sendiri oleh al-Ghazali dengan pengakuannya yang tidak menyebut ilmu-ilmu lain dengan alasan bahwa penguasaan terhadap ilmu-ilmu rasional tidak menjadi syarat untuk mewujudkan kemaslahatan hidup dunia dan akhirat.

Inilah paradigma keilmuan yang mapan, baik secara ontologis, epistemologis dan aksiologis. Paradigma ini lalu menyebar kuat di kalangan mayoritas umat Islam di dunia, tidak terkecuali di pesantren-pesantren di Indonesia. Seiring dengan perkembangan zaman, wacana keilmuan Islam terus bergulir, kritik bermunculan dari para pemikir, baik yang bersifat rekonstruktif hingga dekonstruktif.

Menurut penulis, ada dua problem mendasar dalam wacana keilmuan Islam. Pertama, problem epistemologis ilmu-ilmu agama yang mengalami krisis. Implikasi problem ini berujung pada mandulnya problem-problem keumatan yang tidak bisa dipecahkan. Di samping karena kompleksitas persoalan umat, tetapi juga karena paradigma yang dianutnya tidak lagi mampu memberi ‘arah’ dalam memahami realitas keagamaan. Inilah sesungguhnya persoalan pertama yang oleh Thomas. S. Kuhn disebut dalam kondisi anomali atau krisis keilmuan[3]. Problem kedua adalah persoalan dikotomi ilmu pengetahuan, yakni ketika ilmu-ilmu umum yang dikembangkan di PTU dianggap lepas dari nilai-nilai keagamaan; sementara ilmu-ilmu agama yang dikaji di pesantern dan PTAI dinilai telah cukup dan tidak memerlukan ilmu-ilmu umum sebagai kerangka metodologis ataupun hanya sebagai ‘teman’ dialog antar rumpun keilmuan.

Berangkat dari problem dikotomi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, muncul beberapa pemikir yang mencoba memberikan landasan baru. Sebut saja Ismail Raji al-Faruqi dan Nuquib al-Attas dengan proyek islamisasi ilmu;[4] Prof. Koentowijoyo dengan gagasan pengilmuan Islam;[5] pohon ilmu Prof. Imam Suprayogo;[6] hingga proyek integrasi-interkoneksi Prof. Amin Abdullah. Berbeda dari beberapa pemikir sebelumnya, ada hal yang cukup menarik dari gagasan Prof. Amin Abdullah. Jika Al-faruqi, Koentowijoyo, Imam Suprayago sejatinya hanya disibukkan oleh problem dikotomi ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum. Yakni, dengan cara ‘mengislamkan’ ilmu-ilmu umum, saintifikasi al-Qur’an, atau mungkin yang lebih moderat adalah dengan cara mendialogkan ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum. Amin Abdullah justru berambisi menyelesaikan dua persoalan sekaligus, yakni problem epistemologis ilmu-ilmu keislaman dan dikotomi ilmu pengetahuan. Sayangnya, profesor filsafat islam ini akhirnya gamang dan terjebak lebih concern pada problem dikotomi ilmu pengetahuan.

Akibatnya, dalam bentuk praktis, muncullah fakultas-fakultas umum di kampus-kampus yang berbasis agama (UIN sekarang).  Fakultas sains, kedokteran dan teknik yang notabone-nya bertolak dari paradigma positivisme. Ataupun fakultas ilmu-ilmu sosial (psikologi, komunikasi, ekonomi, dan seterusnya) yang merupakan pengejawantahan dari paradigma teori kritis dan konstruktivis. Kini, dalam konteks UIN (Yogyakarta), semua itu harus ‘tunduk’ di bawah paradigma integrasi-interkoneksi sebagai grand narrative. Narasi besar di mana semua aktivitas ilmiah harus mengikuti pola dan aturan main dalam narasi tersebut. Dalam pandangan Lyotard, ada dua versi narasi besar yang digunakan untuk melegitimasi sains. Yang pertama, lebih bersifat politis, yakni narasi mengenai emansipasi (pembebasan) manusia; yang kedua lebih bersifat filosofis, yakni narasi mengenai dialektika Roh (sifatnya spekulatif). Keduanya sangat mempengaruhi sejarah modern, terutama sejarah pengetahuan dan institusi-institusinya. Pada legitimasi yang pertama dapat dipahami bahwa pengetahuan dapat membebaskan manusia dari kebodohan, kemiskinan, dan perbudakan; pengetahuan dapat mengemansipasi masyarakat dari irrasionalitas ke rasionalitas (proyek Aufklaurung).[7] Sementara pada legitimasi narasi yang spekulatif (memuncak pada idealisme Hegel), hubungan antara sains, bangsa dan negara berkembang secara berbeda-beda. Dalam hal ini sains melegitimasi dirinya dengan menyatakan bahwa pengetahuan itu hanya absah sebagai pengetahuan ilmiah apabila dihasilkan demi pengetahuan itu sendiri (obyektifitas). Sains berpretensi seolah-olah penyataan-pernyataan yang sah dalam sains otomatis benar secara universal (totalisasi kebenaran)[8].

Subyek narasi emansipasi adalah kemanusiaan sebagai hero dari kebebasan, emansipasi dari kebodohan, kemiskinan, irrasionalitas menuju proyek pencerahan. Sementara narasi spekulatif melegetimasi dirinya dengan menyatakan bahwa pengetahuan hanya absah sebagai pengetahuan ilmiah apabila dihasilkan demi pengetahuan itu sendiri (obyektivitas). Sains berpretensi seolah-olah pernyataan-pernyataan yang sah dalam sains otomatis banar secara univerasal atau disebut totalisasi kebenaran. Gagasan totalisasi ini berambisi mempersatukan permainan bahasa sains yang denotatif (sains untuk sains) dan bahasa etis-politis yang prespektif (sains untuk pembentukan moral bangsa).

Narasi ini menjadi semacam pengarah, sebagaimana dalam sains modern yang mempunyai narasi pembebasan manusia dari irrasionalitas menuju rasionalitas, dari pengetahuan non ilmiah menuju pengetahuan ilmiah, dari pengetahuan lokal menuju pengetahuan universal. Begitu pula narasi integrasi-interkoneksi menjadi pengarah dari ilmu yang dinilai berjalan terpisah, sendiri-sendiri, terisolir satu dengan lainnya menjadi ilmu pengetahuan yang terintegrasi dan terkoneksi.

Gagasan penyatuan ilmu-ilmu umum dengan ilmu-ilmu agama atau paling tidak mendialogkan antar rumpun keilmuan ini menyisakan problem filosofis, khususnya menyangkut ketidakjelasan basis ontologis dan epistemologisnya, sekaligus menyangkut penggunaan term ‘dialog’ dalam integrasi-interkoneksi.  Beberapa hal yang juga patut dipertanyakan adalah kalau problem utama keilmuan Islam adalah problem epistemologis/paradigma/metodologis, kenapa justru harus menghadirkan ilmu-ilmu umum? Bukankah yang justru perlu untuk didekonstruksi dan direkonstruksi adalah problem metodologis ilmu-ilmu Islam atau kalau dimungkinkan adalah pembaharuan epistemologis episteme bayani dan irfani (basis epistemologis ilmu-ilmu agama) dengan menghadirkan kembali episteme burhani (basis epistemologis ilmu-ilmu alam dan sosial)?. Lalu apakah gunanya menghadirkan ilmu-ilmu umum (sains modern) yang justru menghawatirkan eksistensi keilmuan Islam?

[1] Lihat, Abid al-Jabiri, Kritik Nalar Arab: Formasi Nalar Arab (1), terj. Imam Khoiri, Yogyakarta: Ircisod, 2003, hlm. 475-476
[2] Ibid., hlm. 477-478
[3] Lihat, Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolution, Chicago: The University of Chicago Press, 1970.
[4] Lihat. Syed M. Nuquib al-Attas, The Concept of Education in Islam a Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia, 1980) dan  lihat juga karya Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge (Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1989)
[5] Lihat Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu, Yogyakarta, Tiara Wacana, 2006
[6] Lihat pula Zainal Abidin Baqir (ed), Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi, Bandung. Mizan, 2005
[7] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis XX, Jakarta: Gramedia, hlm. 348
[8] H. Dwi Kristanto, “Ketidakpercayaan Terhadap Metanarasi: Telaah Pemikiran Lyotard”, Driyarkara, Tahun XXV No. 3, 2002, hlm. 13

Penulis: Mohamad Anas (Ketua PSP IAI Qomaruddin)

Artikel Terkait

1 thought on “Menggagas Paradigma Keilmuan IAI Qomaruddin: Pre-Paradigm (I)”

Leave a Comment