Karakter Intelektualitas Pesantren Menurut K.H. Abdul Ro’uf Djabir

Karakter Intelektualitas Pesantren Menurut K.H. Abdul Ro’uf Djabir

Qomaruddin.com – Pada hari Jum’at pon, 18 Rajab 1441 Hijriyah atau bertepatan pada tanggal 13 Maret 2020, K.H. Abdul Ro’uf Djabir berpulang ke Rahmatullah. Beliau menghembuskan nafas  terakhirnya setelah dirawat di RSUA Surabaya pada pukul 01.40 WIB. Sosok K.H. Abdul Ro’uf Djabir merupakan seorang kyai intelektual dan akademisi yang sering mengangkat tema “pesantren” dalam karya-karya tulisan beliau. Diantara karya-karya tulisan beliau adalah:

  1. H. Musthofa; Riwayat Hidup Perjuangan & Keturunannya (1871-2004). (Lamongan : Forum Komunikasi Bani Musthofa. 2004)
  2. Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren Qomaruddin. (Gresik : Yayasan Pondok Pesantren Qomaruddin. 2012)
  3. Dinamika Pondok Pesantren Qomaruddin Sampurnan Bungah Gresik. (Gresik : Yayasan Pondok Pesantren Qomaruddin . 2014)

K.H. Abdul Ro’uf Djabir lahir di Lamongan, 16 Agustus 1957. Dalam perjalanan hidup beliau tidak lepas dari dunia pesantren. Masa kecil K.H. Abdul Rouf Djabir dididik oleh ayah beliau, K.H. Muhammad Djabir Musthofa (adik K.H. Muhammad Sholeh Musthofa Tsalits) dengan nuansa kehidupan pesantren.

Sejak masih mengenyam pendidikan Madrasah Ibtidaiyah, K.H. Abdul Ro’uf Djabir hidup di Pondok Pesantren Qomaruddin Bungah Gresik. Sang ayah menitipkan Abdul Ro’uf Djabir yang masih berusia kanak-kanak kepada pakde beliau (K.H. Muhammad Sholeh Musthofa Tsalits). Karena sejak kecil sampai berusia dewasa hidup di pesantren, nampaknya karakter intelektualitas pesantren telah melekat pada pribadi K.H. Abdul Ro’uf Djabir.

Menurut K.H. Abdul Ro’uf Djabir, karakter intelektualitas pesantren tidak bisa dipisahkan dalam perjalanan hidup bangsa Indonesia. Semangat memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia merupakan gambaran ghirah (semangat) yang melekat pada kyai dan santri.

Bukan pekerjaan mudah membedah dan menyingkap karakter intelektualitas pesantren. Sebab disamping lahirnya pesantren yang begitu banyak di Indonesia dalam rentang waktu yang cukup panjang dengan latar belakang dan sejarahnya yang berbeda, juga karena dinamika dan peran pesantren yang terus berkembang begitu cepat dari waktu ke waktu.

Munculnya corak pendidikan pesantren antara salaf, modern, dan perpaduan antara keduanya menunjukkan adanya perkembangan model pendidikan pesantren yang juga berdampak pada karakter keilmuan komunitas masyarakat pesantren.

Namun demikian secara umum dapat dikatakan bahwa karakter intelektual masyarakat pesantren tidak berbeda jauh dengan karakter keilmuan pesantren yang terwadai dalam teks-teks otoritatif masyarakat pesantren, yaitu kitab kuning.

Ciri khas yang paling menonjol dalam tradisi intelektual pesantren adalah jaringan, silsilah, transmisi, dan geneologi yang bersifat berkesinambungan (muttasil dan musalsal) untuk menentukan tingkat otentitas, kualitas, dan keulamaan seorang intelektual.

Jika teks-teks pesantren berpotensi menimbulkan kekerasan maka karakteristik masyarakat pesantren juga seperti itu, sekalipun bisa jadi individu-individu kyai, ustadz, dan santri memiliki relasi mesra dengan komunitas di luar kelompok mereka, bahkan diantara mereka sangat modern dan terkesan meninggalkan teks.

Memang tidak diragukan peran sosial budaya dan politik kemasyarakatan masyarakat pesantren, khususnya kyai. Kyai-kyai pesantren sering kali tampil dan berperan aktif ketika kondisi umat dan bangsa dalam keadaan genting dan chaos untuk kemudian kembali tersingkir atau menyingkirkan diri ke dalam pesantren manakala situasi umat dan bangsa telah normal kembali dan sehat.

Seakan-akan mereka sengaja menghindarkan diri dari kejaran popularitas dan pujian manusia. Di saat bangsa Indonesia dihadapkan pada polemik tentang Pancasila sebagai dasar negara, ulama-ulama pesantren berdiri di garda depan untuk menyatakan penerimaan mereka terhadap Pancasila (dan bukan Islam) sebagai asas tunggal negara. Sepintas, fenomena di atas seakan telah terjadi lompatan pemikiran yang melampaui tradisinya.

Telah banyak tokoh yang memainkan peranan penting dalam bidang kemasyarakatan, politik, dan budaya baik dalam tataran lokal, nasional, maupun internasional yang lahir dari rahim pondok pesantren. Sebutlah misalnya para wali songo, Syekh Hamzah Al-Fansuri, Syekh Abdur Rauf Al-Singkili, Syekh Nawawi Al-Bantani, K. H. Hasyim Asy’ari, K. H. Abdul Wahab Hasbullah, K.H. Ahmad Shiddiq, K.H. Abdurrahman Wahid, dan masih banyak nama-nama lainnya.

Namun jika melihat kerusuhan-kerusuhan, konflik vertikal dan horizontal antara komunitas plural di masyarakat, seperti pembakaran tempat-tempat ibadah, terorisme, dan sejenisnya kembali ingatan kita dibawa kepada teks-teks yang terkesan diskriminatif yang hidup di pesantren. Suara jihad kembali menggema.

Untuk mengurai problem ideologis ini umat Islam harus melakukan transformasi intelektual dengan memadukan secara seimbang antara dimensi ilahiyah dan inaniyah yang univesal dan partikular serta yang bersifat wasail dan maqoshid. Perpaduan antara dimensi-dimensi itu untuk menghindarkan sikap tathorruf (kekanan-kananan atau kekiri-kirian) dalam beragama yang justru akan menimbulkan ekstrimisme baru.

Keengganan untuk bergeser barang sedikit dari tradisi teks-teks klasik justru akan menghadapkan ajaran Islam ke dalam masalah besar, yakni ditinggalkan umatnya untuk mencari pijakan lain sekalipun di luar ajaran Islam.

Sikap statis (jumud) bukan saja kesalahan dalam praktek keberagamaan tetapi juga kesesatan yang juga menyesatkan terhadap umat. Persoalan kemanusiaan, demokrasi, pluralitas, kesenjangan sosial tidak sepenuhnya dapat ditemukan rujukannya dalam kitab-kitab terdahulu. Maka membuka kembali “pintu ijtihad” yang sebenarnya memang tidak pernah ada yang menutupnya seharusnya menjadi agenda yang harus segera dilakukan kaum muslimin, dan bukan sekedar wacana.

Artikel Terkait

Leave a Comment