Ideologi ‘Otoriter’; Akar Gerakan Terorisme

Avatar

Mufid

Ideologi otoriter Akar Gerakan Terorisme

qomaruddin.com – Ideologi ‘Otoriter’; Akar Gerakan Terorisme – Belajar ilmu agama adalah kewajiban tiap individu muslim. Dengan ilmu agama seorang muslim mampu melaksanakan amal ibadah dengan baik dan benar, sesuai syarat dan rukunnya, serta mampu mengetahui perbuatan mana yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Agar tidak terjerumus pada pemahaman yang salah dan menyesatkan, maka illmu agama harus dipelajari melalui petunjuk dan arahan seorang guru yang ‘alim, terpercaya dan memiliki kompetensi untuk berbicara masalah agama. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh al-Baihaqy, “ilmu agama itu tidak bisa diperoleh kecuali melalui mulut para ulama”, dan juga al-Imam Ibn Sirin, “sesungguhnya ilmu (agama) ini adalah agama, maka perhatikanlah dari mana engkau mengambil agamamu itu”. Salah dalam memilih guru akan berakibat fatal, bukan hanya bagi diri sendiri, tetapi juga bagi orang lain. Hal ini sebagaimana yang menimpa pada beberapa orang mahasiswa kita, di mana mereka terlibat dalam aksi-aksi terorisme setelah meneguk wawasan keislaman dari orang-orang yang mengusung ideologi ‘otoriter’.

Otoritarianisme ‘Tentara Tuhan’

Aksi kekerasan (terorisme) berbasis agama yang marak terjadi belakangan ini memperlihatkan bahwa penafsiran ‘otoriter’ –meminjam istilah Khaled M. Abou el Fadl– atas ajaran agama masih exist, berada di tengah-tengah kita. Tafsir otoriter terjadi ketika seseorang memiliki klaim bahwa penafsirannya itulah yang paling benar dan sepenuhnya merepresentasikan kehendak Tuhan. Adapun penafsiran-penafsiran lainnya dianggap salah dan jauh dari kehendak Tuhan. Di sinilah seseorang itu secara sadar atau tidak telah memposisikan dirinya sebagai tentara Tuhan, dan bertindak atas nama Tuhan. Padahal ayat al-Qur’an menegaskan “dan tidaklah mengetahui tentara-tentara Tuhanmu kecuali Dia (Allah)”(al-Muddatsir: 30).

Orang yang demikian ini pada dasarnya, menurut Khaled M. Abou el Fadl, tidak hanya keliru karena mengklaim dirinya sebagai tentara Tuhan, tetapi lebih dari itu seolah ia telah memposisikan dirinya sebagai Tuhan yang memiliki kuasa (otoritas) untuk menghakimi orang-orang yang tidak sepaham dengannya. Tafsir otoriter ini pada akhirnya mengkristal menjadi sebuah ideologi otoriter yang destruktif, bukan hanya dari segi pemikiran tapi juga gerakan. Secara historis, kelompok khawarij-lah yang pertama kali mengusung ideologi otoriter semacam ini, yang dengannya mereka melakukan pembantaian terhadap kubu ‘Ali dan Mua’wiyah karena keduanya dianggap telah menyalahi hukum Tuhan.

Guru Komunitas Teroris

Dalam perkembangannya, ideologi otoriter ini dihidupkan kembali oleh komunitas-komunitas radikalis seperti Sayyid Qutb dan Muhammad bin Abdul Wahab. Tak pelak, sebagian kalangan menyebut keduanya sebagai pengusung gerakan neo-khawarij. Sayyid Qutb, figur pengusung konsep kedaulatan Tuhan (al-hakimiyyah al-ilahiyyah), mempunyai pemikiran bahwa suatu negara yang tidak menggunakan hukum Islam sebagai sistem pemerintahannya, maka negara tersebut adalah negara jahiliyah, bahkan lebih jahiliyah dari bangsa arab pra kedatangan Nabi SAW. Sebab, kejahiliyihan bangsa arab dikarenakan ketidaktahuan mereka terhadap risalah Islam, sedangkan kejahiliyahan umat Islam saat ini justru setelah mereka mengetahui risalah Islam.

Menurut Qutb, sebagaimana ditulis Robert D. Lee, adalah alamiah bahwa pada periode permulaan, sebagaimana Nabi SAW merekrut sekelompok kecil mukmin di Makkah dan berusaha memahami wahyu menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, proses pembebasan itu tidak membutuhkan perjuangan dengan kekerasan. Para sahabat Nabi membebaskan dirinya dengan memeluk Islam dan dengan begitu mereka memisahkan diri dari masyarakat Makkah, semula di dalam kotanya sendiri, tetapi kemudian hijrah menuju Madinah. Di sana mereka berusaha mempertahankan hak untuk hidup dengan keyakinan baru dalam lingkungan yang memusuhi mereka. Jihad mesti lebih ofensif, dan pada saat itu kekerasan lebih banyak terjadi. Baru kemudian, setelah kekuasaan lama diruntuhkan, sebuah masyarakat baru dapat disusun, jelas Qutb. Walaupun Sayyid Qutb tak pernah secara eksplisit menganjurkan serangan dengan kekerasan terhadap pemerintahannya sendiri maupun pemerintahan lain yang dianggapnya melalaikan hukum Islam, dalam pandangan Robert D. Lee, argumen-argumen Sayyid Qutb ini telah memberikan dasar alasan bagi orang untuk melakukan kekerasan. Dalam konteks ke-Indonesia-an, nampaknya konsep Sayyid Qutb inilah yang dijadikan rujukan oleh komunitas pengusung NII (Negara Islam Indonesia), meski belum banyak bukti yang mendukung tesis ini.

Sama halnya dengan Sayyid Qutb, Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri gerakan Wahhabi juga mengusung ideologi yang tak kalah berbahaya dengan ideologi Sayyid Qutb. Melalui ideologi takfir-nya, ia dan para pengikutnya, sebagaimana dituturkan oleh Syeikh Ahmad Zaini Dahlan dan Hamid Algar, melakukan apa yang saat ini kita kenal sebagai tindak kejahatan genosida, yakni melakukan pembantaian massal terhadap umat Islam yang tidak sepaham dengannya. Bahkan perempuan dan anak-anak pun tak luput dari aksi kebrutalan mereka. Dari rahim gerakan Wahabi inilah lahir gembong teroris dunia, Osama bin Laden.

Terhadap orang-orang semacam Sayid Qutb dan Muhammad bin Abdul Wahab ini tentu kita patut waspada. Jangan sampai pikiran-pikiran generasi muda Islam teracuni oleh ideologi eksklusif yang menghalalkan darah dan harta saudaranya serta menebarkan kebencian terhadap golongan-golongan di luar komunitasnya. Orang-orang semacam ini tak patut dijadikan guru, sebab mereka bukannya menampilkan Islam sebagai rahmah (kasih sayang), tetapi lebih sebagai niqmah (bencana).

Upaya Preventif

Untuk menepis aksi teror berbasis agama ini tidaklah mudah, karena ia lebih digerakkan oleh sistem ideologi yang mengendalikan alam bawah sadar manusia. Kematian tokoh-tokoh komunitas teroris seperti Dr. Azhari, Nordin M. Top atau Osama bin Laden tidaklah menjadi jaminan bahwa gerakan teroris telah mati. Bahkan tidak menutup kemungkinan yang terjadi adalah sebaliknya, kematian mereka justeru akan semakin mengobarkan semangat ‘jihad’ komunitas teroris, dan inilah yang patut kita waspadai. Untuk itu upaya-upaya preventif seperti peningkatan wawasan kegamaan (moderat) dan kebangsaan, patut kita galakkan demi membendung ideologi otoriter tersebut menjalar lebih luas lagi, khususnya di kalangan remaja (siswa dan mahasiswa) yang kerapkali menjadi sasaran rekrutmen komunitas teroris. Hal ini tentunya membutuhkan keterlibatan dan kerjasama yang baik antar semua elemen masyarakat, mulai dari orang tua, guru, organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan hingga pemerintah. Dengan upaya ini, kita berharap lambat laun gerakan terorisme tersebut akan musnah dengan sendirinya, sehingga kita dan aparat pemerintah khususnya bisa bernapas dengan lega tanpa merasa takut dihantui aksi-aksi brutal para teroris [ARF].

Wallahu ‘alam

Artikel Terkait

Leave a Comment